Datingservicephoenix com dating men 2 years younger

Imagine being able to call us when you’re nervous about an upcoming date, and we can talk you through it so you aren’t inclined to give into your fears and cancel.Or maybe you’re not sure how to even find the restaurant when a street closure forces you to take a detour.Dan baru dini hari tadi kertas warna senja itu kumasukkan ke dalam kotak pos di sudut alun-alun; tepat di seberang kafe di mana sebelumnya kunikmati sisa malam yang hambar; jazz yang menguar; dan secangkir kopi yang membuat jantungku tak henti berdenyar. Kekasih, Kau tahu kenapa aku memilih membeli kartu pos bergambar saxophone itu ketika kemarin lusa aku berjalan-jalan di sebuah toko buku renta? Di mana pihak satu dan pihak lain saling berebut kursi untuk saling menguasai. Bahkan kebaikan-pun menjadi sesuatu yang sulit untuk dideskripsikan. Jangan tanya kenapa saxophone dan bukan biola, karena aku cuma manusia biasa yang tak cukup punya hak untuk mendikte apa yang bisa dan tidak bisa kuimpikan. Jawaban atas pertanyaan itu sudah menjadi semacam nasi basi; berkeringat dan mengeluarkan aroma yang melekat.‘Hidup adalah jazz. Kekasih, Berapa cangkir kopi yang sudah kau sesap hari ini? ‘Kopi itu seperti hidup’, begitu falsafahmu, ‘Di mana manis dan pahit saling berbelit. Karena ternyata secangkir kopi saja sudah cukup membuat jantungku tak henti bergeletar. Bukan apa-apa sebenarnya, hanya saja baru saja kudengar dari kabar yang beredar, pihak oposisi akan mulai bergerak sore nanti. Karena hanya dengan begitu kita akan punya cukup kekuatan untuk bertahan hidup di dunia yang semakin hari semakin gila. Kekasih, Saat ini tak ada sesuatupun yang kuinginkan dari dirimu. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa satu-satunya kebenaran yang kuimani tak pernah berubah dari dulu. Teringat salah satu mayat lelaki muda yang pagi tadi dia lempar ke dalam truk tentara.‘Dia bukan pemberontak’, Sersan Ali bicara pada diri sendiri. Sersan Ali menatap ke seberang, sisa-sisa kotak pos yang terbakar. Denyar bergeletar seperti ketika bulu kudukmu meremang saat seseorang meniup pelan lubang kupingmu. Ah, tapi adakah yang pernah sekurang ajar itu padamu? Di dalam tidurku itu, berdua kita berkeliling di senyap kafe-kafe gelap, dan ketika pekat mulai merayap, bibir kita tak henti menyatu untuk saling mencumbu; mengalunkan harmoni yang menyayat bagai sembilu; menemani manusia-manusia yang selalu datang dan pergi; pasangan-pasangan bahagia penuh cinta; pun juga seseorang yang ingin menghabiskan malam terakhir sebelum dia memutuskan untuk bunuh diri di jembatan yang membelah kota menjadi dua; setelah sebelumnya gagal mengiris nadi dengan pisau berkarat di kamar hotel murahan yang ranjang kayunya dilumat rayap. Sebuah titik waktu di mana cinta adalah semacam tai kuda yang keras kepala; iman adalah selalu berarti legalnya pembunuhan; darah dan amarah adalah amanah. Kita berdua memang makhluk-makhluk peragu yang sangat jarang benar-benar meyakini sebuah kebenaran. Improvisasi tak berhenti’, kau menulis di surat terakhirmu kemarin lalu. Gerakan bawah tanah akan keluar menantang matahari. Teringat gelegar suara Jenderal, ‘Tembak semua pengacau!! Tiba-tiba bibir prajurit itu tergetar, membayangkan andaikan peluru yang bersarang di tubuh lelaki itu berasal dari AK 47 yang kini dipanggulnya, ‘Lalu bagaimana dengan sang kekasih itu? Dia yakin, kartu pos bergambar saxophone itu tak mungkin lagi ditemukan. Kini kertas di tangannya adalah bukan apa-apa dan bukan milik sebuah nama.